
Bicara wabah di Nusantara, sebenarnya bukan kali ini saja terjadi. Jauh sebelum pandemi Covid-19 yang disebabkan virus corona jenis baru (SARS CoV 2), sejumlah daerah di Indonesia pernah diserang wabah sampar, sebuah penyakit mematikan yang ditularkan tikus.
Catatan wabah sampar di Indonesia, termasuk di Jawa Barat yang pernah menjadi pusatnya, terdokumentasi dalam buku “Jaman Woneng: Wabah Sampar di Priangan, 1925-1937”.
Buku 166 halaman itu ditulis Atep Kurnia dan diterbitkan Penerbit Layung dan Ayo Bandung, Garut, 2020. Dari gambar sampulnya saja, buku ini tampak bercerita kasus zaman baheula.
Atep Kurnia mengawali bukunya dengan peristiwa impor beras yang dilakukan pemerintah kolonial Belanda pada 5 November 1910. Beras impor mendarat di Surabaya, kemudian disimpan di suatu gudang di Malang.
Baca juga:
- Buku “Di Muara Tagus”, puisi dari Awiligar sampai kolonialisme Portugal
- Kisah raja yang klaim angklung sebagai budayanya
“Diduga pada tumpukan beras tersebut ada tikus-tikus terinfeksi sampar yang terbawa dari Rangoon (Myanmar),” tulis Atep Kurnia.
Sejak itu, Atep Kurnia menceritakan bagaimana awal wabah yang menyerang Indonesia melalui Malang. Selanjutnya serangan wabah terjadi dalam tiga gelombang, antara 1911 hingga 1939. Diperkirakan korbannya mencapai ratusan ribu jiwa.
Dari Malang, wabah sampar menjalar ke Kediri, Blitar, Tulungagung dan Madiun. Wabah ini tak terbendung. Antara 1915-1916, wabah terjadi di Surakarta dan Yogyakarta. Kemudian masuk Ambarawa, Parakan, Banyumas.
Sampar masuk wilayah Jawa Barat pada gelombang ketiga, yakni 1923. Mula-mula Kuningan, Majalengka, dan Ciamis. Dari situ menjalar ke barat sampai Priangan.
“Pada fase ketiga, sampar menerjang Jawa Barat, bahkan menjadi yang paling buruk selama rentang waktu 1910-1934. Dinas Sampar tidak siap untuk menangani besarnya wabah tersebut, sehingga lebih banyak orang yang meninggal,” kata Atep (halaman 13).
Kematian disebabkan sampar di Jawa Barat tiap tahunnya meningkat. Pada 1932, kematian mencapai 4.366, pada 1933 meningkat menjadi 15.000, dan 1934 mencapai 23.239.
Wilayah Priangan kemudian menjadi episentrum sampar di Jawa Barat. Hampir seluruh daerah di Kabupaten Bandung terinfeksi wabah ini.
Baca juga:
- Jejak Freemason di Bandung, bekas loji kini jadi masjid
- Bekas gudang kopi zaman Belanda kini jadi Balai Kota Bandung
Upaya yang dilakukan untuk membendung sampar dengan menjalankan perbaikan dan pembangunan kembali rumah (verbeterde woningen) yang sasarannya rumah-rumah bambu yang rentan menjadi sarang tikus, agen pembawa bibit penyakit sampar.
Sama seperti pandemi Covid-19, penanganan sampar juga mengandalkan harapan pada vaksin. Pada akhir 1934, Direktur Instituut Pasteur di Bandung, dokter Otten, berhasil menemukan vaksin dari uji coba tikus yang ditangkap di Ciwidey.
“Dokter Otten berhasil melakukan percobaan sehingga akhirnya menemukan bahwa basil sampar pada tikus yang ditangkap di Ciwidey ternyata cocok untuk dijadikan vaksin massal,” lanjut Atep Kurnia.
Buku “Zaman Woneng” bisa didapat di toko buku Lawang Buku atau menghubungi langsung penulisnya melalui Instagram atau email [email protected].
Perlu diketahui, penyakit sampar dikenal juga sebagai penyakit pes. Penyakit ini dipicu bakteri Yersinia pestis dari hewan pengerat seperti tikus. Sampar menyerang paru-paru, limpa, kulit dan organ tubuh lainnya.
Sampar pernah menjadi pandemi “maut hitam” dan merenggut sedikitnya 25 juta jiwa di Eropa pada abad pertengahan. Penyakit ini sudah ditemukan obat dan vaksinnya, namun tetap berpotensi menjadi wabah karena agen penularnya seperti tikus masih berkeliaran. (Iman Herdiana/Simmanews)
Baca juga:
- Tahukah kalau kuliner Nusantara sudah ada sejak abad ke-10 Masehi?
- Di balik mitos jurig cai dan bencana banjir: Festival Air Cimahi
- Robohnya Jembatan Mangrove dan cerita korban Tsunami Pangandaran
- Ketika Belanda, Jepang dan Indonesia “rebutan” Rumah Sakit Ranca Badak
- Kisah di balik patung badak putih penunggu Balai Kota Bandung
- Sejarah masker sebelum flu Spanyol dan pandemi Covid